Kamis, 16 Juni 2016

Cerita Rakyat Asal Usul Pulau Senua,tentang kesombongan

Warta berkisah,pada suatu zaman di Pulau Natuna,hidup sepasang suami istri yang sepanjang hidupnya terkungkung oleh kemiskinan yang teramat sangat.Boleh dikata,sejak remaja bahkan setelah menikah,kehidupan mereka tak pernah juga berubah sekali pun.Karena ingin merubah nasib,setelah berpikir sekian lama,akhirnya,keduanya memutuskan untuk pergi merantau ke Pulau Bunguran yang sudah terkenal dengan kekayaan lautnya.
  Singkat kata,di Pulau Bunguran,Baitusen,demikian nama suami bekerja sebagai nelayan,sementara Mai Lamah,sang istri bekerja membuka kulit kerang untuk dijual sebagai pembuat perhiasan .Demikian cara dia membantu meringankan beban suaminya.
  Selain kehidupannya perlahan-lahan mulai membaik disertai dengan sikap para penduduk yang demikian ramah,maka,keduanya merasa betah tinggal di Pulau itu.Rasa senang yang membuncah di hati Baitusen,maklum sang istri tengah mengandung muda,membuat tiap hari,ia bekerja tanpa mengenal lelah bahkan daerah tangkapannya pun kian menjauh dari bibir pantai.Dalam hati dan angannya,ia tak pernah menginginkan jika sang anak terlahir dalam keadaan miskin sebagaimana diri dan istrinya.
  ‘’Adik,doakan abang agar selalu sehat,selamat dan bisa mendapatkan rizki banyak agar sikecil nanti tidak merasa kegetiran hidup seperti kita.Sepeninggal abang jagalah kandunganmu dengan sebaik-baiknya,’’kata Baitusen setiap akan melaut.
  ‘’Baik,adik akan selalu mengingat dan berdoa buat Abang,’’jawab Mai Lamah dengan manja sambil bergayut di bahu bidang suaminya.Demikian yang mereka lakukan setiap Baitusen hendak melaut.
  Keadaan itulah yang terkadang membuat para tetangga mereka menjadi iri akan keharmonisan hidup keduanya.Hingga pada suatu hari,tanpa sengaja,Baitusen menemukan lubuk yang berisi ribuan ekor teripang.Dengan perasaan bahagia,Baitusen pun pulang membawa hasil tangkapannya dan menjualnya kepada para pedagang yang datang dari cina.
  Saran tetangganya ternyata benar adanya.Para pedagang cina berani membeli teripang kering miliknya dengan harga yang sangat tinggi.Dalam waktu singkat,Baitusen dan Mai Lamah menjadi orang yang berkecukupan di Pulau Bunguran.
  Sejak itu,Baitusen tak pernah lagi mau mencari kerang,atau siput.Tiap hari,ia terus berburu teripang,dan hasil penjualannya pun disimpan dan akhirnya di belikan perahu yang lebih besar.Takdir ternyata telah merubah nasib Baitusen dan Mai Lamah,boleh dikata,tiap hari ,Baitusen selalu berhasil menangkap teripang dalam jumlah yang banyak.tak pelak,dalam waktu singkat,keluarga ini menjadi pedagang teripang yang kaya raya dan terpandang di Pulau Bunguran.
  Sayangnya,ada satu cobaan yang tak mampu dilalui dengan baik oleh keduanya.Setelah kekayaan tiap hari kian banyak,ternyata perangai Mai Lamah pun turut berubah.Ia tak lagi seperti duluMai Lamah yang sekarang adalah sosok yang sombong dan kikir.Tak hanya menolak tetangga yang membutuhkan pertolongannya,ia bahkan menghina mereka dengan perkataan yang teramat menyakitkan.
  ‘’Kalian ini orang miskin,mana mungkin mampu mengembalikan pinjaman tepat waktu.Segera enyah,aku tidak kuat menahan bau tubuh kalian,’’demikian katanya tiap ada tetangga yang datang untuk sekedear meminjam uang.
  Melihat perubahan itu,Baitusen acap menegur dan mengingatkan Mai Lamah;’’Adik,berikanlah mereka sekadar pinjaman,bukankah dahulu kita juga sering ditolong oleh mereka.’’
  ‘’Abang,mana mungkin mereka bisa mengembalikan pinjamannya,’’ demikian sergah Mai Lamah.
  ‘’Bukankah saling menolong adalah perilaku hidup yang utama,’’demikian ujar Baitusen yang mencoba melunakkan hati istrinya.
  ‘’Ketika kita miskin,tak ada seorangpun yang mau peduli.Cukup Abang,jangan ikut campur,’’sahut Mai Lamah dengan suara tinggi.
  Untuk menghindari pertengkaran yang semakin besar,biasanya Baitusen pun segera meninggalkan istrinya yang masih terus saja menggerutu.
Sejak itu,para tetangga mulai menjauh dan bahkan enggan untuk bertegur sapa dengan Baitusen dan Mai Lamah.Walau begitu alih-alih berubah,kelakuan Mai Lamah bahkan kian menjadi-jadi,ia semakin sombong bahkan tak mau melihat apalagi bertegur sapa.
  Purnama terus berganti,hingga akhirnya,tibalah saat Mai Lamah untuk melahirkan.Baitusen yang sangat kebingungan ketika mendengar rintihan sang istri,mencoba meminta pertolongan kepada para tetengganya.Tetapi apa lacur,rasa sakit karena menerima penghinaan dari Mai Lamah,membuat tak seorangpun tetangga ada yang bersedia untuk menolong persalinan itu.
  Karena bingung dan tak sampai hati mendengar rintihan sang istri,akhirnya Baitusen segera memutuskan untuk melahirkan di Pulau Seberang.Setelah mempersiapkan segala sesuatunya,sambil memapah sang istri ,Baitusen pun berkata; ‘’Ayo kita berangkat ke pulau seberang,abang dengar disana ada seorang dukun beranak.’’
  Mai Lamah hanya bisa mengangguk dengan lesu.Sementara dari mulutnya,tak henti-hentinya keluar rintihan yang demikian menyayat.Baru beberapa langkah berjalan,bahkan belum sampai ke pintu kamar,mendadak Mai Lamah pun berkata ; ‘’Abang,jangan lupa bawa seluruh perhiasan kita.’’
  Baitusen yang enggan berdebat,dengan perasaan berat segera memenuhi permintaan istrinya.Ia segera mengambil barang yang dimaksud ,dan kembali memapah Mai Lamah ke perahu.
  Baitusen pun mulai mendayung perahunya.Namun,karena arus air datang dari arah Pulau yang dituju,maka ia pun merasakan berat dalam mengayuh perahunya.Selain arus,barang bawaan yang berupa perhiasan pun membuat perahu menjadi semakin berat.Oleh sebab itu,meski Baitusen telah mengeluarkan segala tenaga dan keahlianny dalam mengayuh perahu,tetapi,sang perahu hanya melaju dengan perlahan.
  Tak seperti biasanya,kali ini,semakin ketengah,terpaan ombak semakin mengganas.Baitusen semakin kehabisan tenaga,sementara air laut pun mulai memasuki perahu sehingga membuat Mai Lamah menjadi semakin ketakutan.Sebenta-sebentar,terdengar katanya ;’’Awas abang air laut mulai masuk.kita bisa tenggelam...!’’
  Kata-kata Mai Lamah pun menjadi kenyataan.Air laut yang masuk ke perahu semakin banyak,akhirnya perahu pun tenggelam.Tubuh keduanya pun hanyut terbawa gelombang dan terdampar di pantai Bunguran Timur.Dan disambut dengan angin kencang yang disertai hujan yang turun dengan lebatnya serta lompatan petir yang mengelegar sambung menyambung.Tak ada yang menduga,kilat pun menyambar tubuh Mai Lamah yang berbadan dua itu berkali-kali hingga merubah tubuhnya menjadi batu.
  Tak ada yang tahu bagaimana nasib Baitusin.Yang jelas seiring dengan berjalannya waktu,batu jelmaan tubuh Mai Lamah bertambah besar hingga menjadi sebuah pulau yang oleh masyarakat sekitar,pulau yang terletak di ujung tanjung Senubing,Bunguran timur itu disebut sebagai Pulau Sanua,yang berarti satu tubuh berbadan dua.Sementara,saat ini,Pulau Bunguran terkenal sebagi Pulau sarang burung wallet yang konon merupakan jelmaan dari perhiasan yang dikenakan Mai Lamah.(dari berbagai sumber)
Tag:cerita rakyat,cerita legenda nusantara,kisah tauladan

You May Also Like

Subscribe by Email

Cerita Rakyat Asal Usul Pulau Senua,tentang kesombongan
4/ 5
Oleh