Kamis, 26 Oktober 2017

Nyadran Dan Kirab Tumpeng Di Desa Ketitang

Sadranan-Di-Ketitang
Warga Merias Nasi Tumpeng
Waktu masih terlalu pagi, juga belum terdengar ayam jantan berkokok. Entah karena si ayam masih malas bangun atau memang karena di desa Ketitang sudah tidak ada lagi ayam jantan karena sudah dijadikan ingkung oleh warga.
Pagi itu Jumat Kliwon 27 Oktober 2017 masyarakat desa Ketitang kecamatan Jumo kabupaten Temanggung sudah mulai sibuk menyiapkan nasi tumpeng sebagai bagian dari prosesi tradisi Nyadran yang akan digelar pada hari itu.

TRADISI NYADRAN DESA KETITANG
Nyadran atau Sadranan di desa Ketitang yang sudah ada sejak dahulu dan turun temurun sampai sekarang adalah sebuah upacara tradisi mendoakan arwah leluhur. Hal ini dapat diketahui dari inti prosesi nyadran tersebut yaitu Tahlil dan Doa yang dilaksanakan secara serempak oleh warga desa Ketitang.
Merujuk arti kata Nyadran yang diambil dari bahasa sanskerta yaitu sraddha yang berarti keyakinan maka masyarakat desa Ketititang meyakini kalau ritual nyadran dapat memberi dampak yang positif juga bagi yang melakukannya.
Karena di samping mendoakan arwah leluhur, warga desa juga berdoa memohon keselamatan, kelancaran usaha dan rejeki, ketentraman dan sebagainya.

Saya tertarik apa yang disampaikan Laras Dewi Susianto salah seorang warga Ketitang yang menyikapi makna nyadran secara realistis,
" Bahwa sesuatu hal kebaikan yang dilakukan secara tulus dan iklas seperti membersihkan makam leluhur, mengenang dan mendoakan arwah leluhur tentu akan mendapat pahala dan imbalan yang baik pula dari Allah Yang Maha Kuasa. Untuk itu tidak ada salahnya nyadran terus dibudayakan dan dilestarikan."
Tradisi nyadran di desa Ketitang dilakukan dua kali dalam satu tahun yaitu pada Bulan Ruwah dan Bulan Sapar dalam hitungan Tahun Jawa. Namun pada bulan Sapar biasanya  tradisi ini kelihatan lebih meriah karena prosesinya dikemas lebih apik dengan disertai kirab tumpeng dan ada pula hiburan rakyat.
Sampai dengan tahun ini tradisi nyadran di Ketitang selalu mendapat perhatian dari pihak MUSPIKA Kecamatan Jumo yang menganggap sebagai salah satu nilai budaya tradisional yang harus selalu didukung kelestariannya.

KIRAB NASI TUMPENG 
Hari menjelang siang namun ayam jantan masih juga belum berkokok, ternyata memang benar semua telah menjadi ingkung sebagai pelengkap nasi tumpeng.

Kirab Tumpeng

Nasi Tumpeng adalah cara penyajian nasi berbentuk kerucut (Bucu) dengan segala lauk pauknya.
Konon dalam filosofi Hindu nasi Bucu menggambarkan puncak Gunung Mahameru yang berbentuk kerucut tempat bersemayamnya para Dewa Dewi.

Namun lain pula makna tumpeng di desa Ketitang, masih menurut Laras Dewi Susianto
" TUMPENG merupakan akronim Jawa dari kepanjangan  YEN METU KUDU SING MEMPENG "
Artinya : Kalau keluar harus sungguh-sungguh.
Jadi jangan heran kalau tumpeng dihias dan dilengkapi ingkung dengan aneka lauk pauk, dan layak untuk dikirabkan. Inilah seni budaya.

Iring-iringan kirab dimulai pagi hari setelah sebelumnya warga gotong royong membersihkan semua Pemakaman di desa Ketitang. Dari gerbang desa, dipimpin oleh Kepala Desa Ketitang Bp. Wahyu, warga bersama-sama membawa tumpeng ke tempat yang disediakan dekat area pemakaman WALI MANGKUYUDO. Dan pada puncaknya setelah Tahlil dan Doa, bersama dengan Muspika Jumo dan para tamu yang hadir menyantap tumpeng yang disajikan.

Itulah makna nyadran dan kirab tumpeng di desa Ketitang yang menjadi simbol gotong royong, kebersamaan, dan keramahtamahan.

Foto : Original Mas Gacus
Sumber -