Tanpa terasa, bangsa Indonesia hampir 7 tahun ditinggalkan tokoh yang pernah memimpinnya selama 32 tahun, Haji Muhammad Suharto, (1966-1998). Tepatnya pada tanggal 27 Januari 2008, mantan Presiden Suharto wafat dalam usia 86 tahun dan dimakamkan di Bukit Mengadeg, Karanganyar, Solo, Jawa Tengah. Mantan penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu dikenal sebagai penguasa Nusantara yang paling luas dan besar wilayah kekuasaannya jika dibandingkan dengan penguasa lainnya seperti Ken Arok, Raden Wijaya, Hayam Wuruk, Gajah Mada, Sultan Fatah (Raden Patah), Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir), Sultan Agung Hanyokrokusumo bahkan Presiden Sukarno. Sebab di era Sukarno, East Timor masih dibawah Portugis, sementara di era Suharto masuk wilayah NKRI. Begitu besar dan luas kekuasaannya, menjadikan Presiden Suharto bagikan Kaisar Nusantara.
Memang lawan apalagi kawan pasti mengakui, tokoh kelahiran Desa Kemusu, Kecamatan Argomulyo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 8 Juni 1921 itu adalah tokoh besar terlepas dari jasa dan dosanya bagi bangsa dan negara. Betapa tidak, Suharto yang dimasa kecilnya penuh dengan penderitaan sehingga sampai usia 10 tahun telah 6 kali gonta ganti orang tua asuh itu, ternyata setelah dewasa menjadi pemimpin nasional bahkan internasional. Seandainya orang tahu akan masa depan Suharto yang akhirnya jadi Presiden RI, pasti semua berebut ingin menjadi orang tua asuh bayi merah yang ketika berusia 15 hari, kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai tersebut. Namun nasib seseorang adalah misteri kehidupan, hanya Allah Swt yang mengetahuinya.
Suharto menjabat Presiden dalam usia cukup muda 46 tahun dengan pangkat Jenderal bintang tiga dan berkuasa tiada tanding tiada banding selama 32 tahun. Semua lawan politiknya dibuat tidak berkutik dengan kekuasaan otoriternya dan kelihaiannya dalam berpolitik, sampai dirinya terpaksa lengser keprabon pada 21 Mei 1998. Seandainya waktu itu Presiden Suharto tidak mengundurkan diri dan nekat bertahan meski mendapat desakan kuat dari para mahasiswa yang menduduki Gedung DPR-MPR, barangkali reformasi akan mundur 10 tahun ke belakang hingga Presiden Suharto wafat, sebagaimana para penguasa otoriter yang berkuasa hingga akhir hayatnya.
Seharusnya kalau mau dan tega demi kelanggengan kekuasaannya, Presiden Suharto dengan mudah bisa memerintahkan menantunya yang juga Pangkostrad, Letjen TNI Prabowo Subiyanto untuk mengerahkan cukup satu batalyon Kostrad dibantu Kopassus untuk “membersihkan” Gedung DPR-MPR dari pendudukan mahasiswa, meski harus dibayar mahal dengan korban jiwa. Namun Suharto bukanlah Deng Xiao Ping, Ferdinand Marcos, Hafez al Assad dan anaknya Bashar al Assad, Housni Mubarak, Muammar Khadafi dan para diktator lainnya, yang dengan kejam dan tega menumpahkan darah mahasiswa dan rakyatnya demi mempertahankan kekuasaannya. Meski berkuasa secara otoriter, Presiden Suharto bukanlah ‘si raja tega’, tetapi dia adalah pemimpin yang masih memiliki hati nurani meski harus mengorbankan kekuasaannya sekaligus masa depan keluarganya.
Pertama, berhasil membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedua, menjadikan perekonomian stabil bahkan berkembang pesat dari semula terpuruk berat di akhir era kekuasaan rezim Sukarno. Ketiga, menjadikan politik stabil meski harus mengorbankan kebebasan rakyatnya. Keempat, menjadikan Indonesia negara paling stabil dan aman di Asia bahkan dunia. Kelima, kesejahteraan rakyatnya terjamin dengan murahnya berbagai harga pangan dan kebutuhaan pokok lainnya. Keenam, Indonesia berhasil swasembada pangan di era pemerintahannya. Ketujuh, menjadikan Indonesia negara yang disegani dan dihormati di Asia Tenggara, Asia bahkan dunia dengan kekuatan militernya. Kedelapan, puncak keberhasilan pendidikan terjadi di era Presiden Suharto, dari mayoritas rakyat buta huruf dan berpendidikan SD, menjadi melek huruf dan gudangnya para sarjana dan ilmuan terkemuka, dan sederetan prestasi gemilang lainnya.
Namun tidak sedikit pula kesalahan dan dosa Presiden Suharto yang berkuasa secara diktatorial dan otoriter selama 32 tahun. Adapun berbagai dosa Presiden Suharto antara lain: terjadinya berbagai kasus pembantaian yang melanggar HAM berat seperti Tanjung Priok dan Lampung, pemaksaan Asas Tunggal Pancasila, monoloyalitas PNS terhadap Golkar, pembredelan demokrasi, pembungkaman pers, memperkaya keluarga dan inner-circle kekuasaannya, membantu klik Cina konglomerat hitam pemilik bank yang collaps sehingga menimbulkan mega skandal BLBI sebesar Rp 660 triliun, pembunuhan dan pembungkaman lawan politik termasuk para aktivis Islam, penculikan para aktivis mahasiswa, memperkosa UUD 1945 sehingga dapat dipilih lagi sampai tujuh periode serta menghambat munculnya regenerasi kepemimpinan nasional dan lain sebagainya.
Sebagai dampak dari policy Suharto tersebut, saat ini Indonesia tergolong negara dengan hutang luar negeri lebih dari seratus miliar dolar AS hingga sulit terbayarkan dalam beberapa generasi. Sementara kekayaan alam nasional dikuasai beberapa perusahaan asing, hutan Indonesia habis digunduli, KKN sudah menjadi budaya birokrasi dan sebagainya. Memang diakui Suharto memiliki jasa bagi bangsa ini, namun kerusakan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukannya selama berkuasa tidak kalah besarnya daripada jasanya kepada bangsa dan negara. Sehingga dapat dikatakan akhir kekuasaan Suharto adalah suul khotimah bukan khusnul khotimah, karena terpaksa lengser keprabon. Akhir kekuasaan Presiden Suharto hampir sama dengan akhir kekuasaan Presiden Sukarno, meski dengan sebab dan kasus berbeda.
Sedangkan kejatuhan Presiden Suharto dihubung-hubungkan dengan kematian Ibu Tien (1994). Pasalnya, Ibu Tien dianggap yang memiliki “wahyu” kekuasaan karena berasal dari trah darah biru keturunan Mangkunegaran, Solo. Namun ketika Ibu Tien wafat, maka “wahyu” itu ikut minggat dan secara otomatis tongkat yang menopang kekuasaan Suharto roboh karena dimakan rayap, sebagaimana tongkat yang menopang badan Nabi Sulaiman As menjelang akhir hayatnya. Namun semuanya itu hanyalah rekayasa yang jauh dari kebenaran bahkan mengandung klenik kejawen. Sesungguhnya ada beberapa misteri selama 32 tahun kekuasaan Presiden Suharto yang belum berhasil diungkap hingga sekarang.
Pertama, siapa sesungguhnya dalang utama tragedi 1965 G30S/PKI yang menelan korban hingga 500 ribu orang itu dan hampir saja menghancurkan kesatuan NKRI. Apakah Mao Tse Tung, Kruchev, Sukarno, Aidit ataukah Suharto sendiri. Tetapi yang jelas, setelah itu dengan senjata Supersemar, Pangkostrad Mayjen TNI Suharto berhasil menumpas PKI hingga keakar-akarnya, meski sebelumnya PKI merupakan partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Partai Komunis Cina dan Partai Komunis Rusia yang sudah berhasil berkuasa di kedua negara raksasa komunis tersebut.
Kedua, siapakah dalang utama pembantaian 500 umat Islam di Jakarta termasuk pemimpinnya As Syahid Amir Biki yang dikenal dengan Tragedi Tanjung Priok (12/8/1984), apakah Presiden Suharto, Pangab Jenderal TNI LB Moerdani ataukah Pangdam Jaya Mayjen TNI Try Surtisno. Karena sampai saat ini belum pernah ada pengadilan atas pelanggaran HAM berat terhadap ketiganya, apalagi sekarang hanya Try Sutrisno yang masih hidup. Juga belum terungkap siapakah dalang Tragedi Talangsari, Lampung (1989), apakah Danrem Garuda Hitam, Kolonel Inf AM Hendro Priyono, ataukah masih ada dalang utamanya. Memang hingga sekarang ini, belum pernah ada pengadilan terhadap mantan Kepala BIN ini dalam kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari, Lampung.
Ketiga, mengapa setelah 10 tahun lengser dari kekuasaan hingga akhir hayatnya (27 Januari 2008), tidak ada satupun Presiden Indonesia yang berani membawa mantan Presiden Suharto ke Pengadilan, apakah dalam kasus korupsi, pelanggaran HAM berat ataukah kasus lainnya. Baik Presiden BJ Habibie, Gus Dur, Megawati ataupun SBY semuanya bungkam seribu bahasa ketika ditanya mengapa tidak mau mengadili Pak Harto yang jelas-jelas menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) selama 32 tahun berkuasa.
Keempat, tepat 16 tahun setelah lengser keprabon, tampillah wong Solo memimpin negara ini, Presiden Jokowi. Meski Pak Harto asli Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi Ibu Tien asli Wonogiri Solo dan masih keturunan darah biru Mangkunegaran Solo. Bahkan pernikahan Pak Harto dan Ibu Tien (1946), juga dirayakan di Kota Solo. Sedangkan Presiden Jokowi dan istrinya Iriana, sama-sama asli Solo. Jadi sesungguhnya antara mantan Presiden Suharto dan Ibu Tien serta Presiden Jokowi dan Ibu Iriana masih memiliki hubungan “kekerabatan” karena sama-sama wong Solo.
Namun yang menimbulkan pertanyaan adalah, apakah keberhasilan kepemimpinan Presiden Jokowi nantinya akan sama dengan suksesnya Presiden Suharto dalam membangun dan memimpin Indonesia ? Tetapi yang jelas, keberhasilan Presiden Jokowi dalam memimpin negara bisa diukur pada Pemilu dan Pilpres 2019 nanti. Jika nanti Presiden Jokowi mencalonkan diri lagi dan ternyata terpilih kembali untuk periode keduanya, hal itu menunjukkan rakyat menilai Presiden Jokowi berhasil pada periode pertama pemerintahannya sebagai Presiden RI. Namun jika gagal, hal itu menunjukkan rakyat menganggap Presiden Jokowi telah gagal dalam memimpin Indonesia. Sehingga Presiden Jokowi tidak bisa disejajarkan dengan Presiden Suharto dalam memimpin bangsa dan negaranya, meski keduanya masih memiliki hubungan “kekerabatan” karena sama-sama wong Solo. Namun, dari gejolak dan kontroversi yang terjadi saat ini, mampukan Jokowi menjadi presiden sukse?[sumber: voa-islam.com]
Memang lawan apalagi kawan pasti mengakui, tokoh kelahiran Desa Kemusu, Kecamatan Argomulyo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 8 Juni 1921 itu adalah tokoh besar terlepas dari jasa dan dosanya bagi bangsa dan negara. Betapa tidak, Suharto yang dimasa kecilnya penuh dengan penderitaan sehingga sampai usia 10 tahun telah 6 kali gonta ganti orang tua asuh itu, ternyata setelah dewasa menjadi pemimpin nasional bahkan internasional. Seandainya orang tahu akan masa depan Suharto yang akhirnya jadi Presiden RI, pasti semua berebut ingin menjadi orang tua asuh bayi merah yang ketika berusia 15 hari, kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai tersebut. Namun nasib seseorang adalah misteri kehidupan, hanya Allah Swt yang mengetahuinya.
Suharto menjabat Presiden dalam usia cukup muda 46 tahun dengan pangkat Jenderal bintang tiga dan berkuasa tiada tanding tiada banding selama 32 tahun. Semua lawan politiknya dibuat tidak berkutik dengan kekuasaan otoriternya dan kelihaiannya dalam berpolitik, sampai dirinya terpaksa lengser keprabon pada 21 Mei 1998. Seandainya waktu itu Presiden Suharto tidak mengundurkan diri dan nekat bertahan meski mendapat desakan kuat dari para mahasiswa yang menduduki Gedung DPR-MPR, barangkali reformasi akan mundur 10 tahun ke belakang hingga Presiden Suharto wafat, sebagaimana para penguasa otoriter yang berkuasa hingga akhir hayatnya.
Seharusnya kalau mau dan tega demi kelanggengan kekuasaannya, Presiden Suharto dengan mudah bisa memerintahkan menantunya yang juga Pangkostrad, Letjen TNI Prabowo Subiyanto untuk mengerahkan cukup satu batalyon Kostrad dibantu Kopassus untuk “membersihkan” Gedung DPR-MPR dari pendudukan mahasiswa, meski harus dibayar mahal dengan korban jiwa. Namun Suharto bukanlah Deng Xiao Ping, Ferdinand Marcos, Hafez al Assad dan anaknya Bashar al Assad, Housni Mubarak, Muammar Khadafi dan para diktator lainnya, yang dengan kejam dan tega menumpahkan darah mahasiswa dan rakyatnya demi mempertahankan kekuasaannya. Meski berkuasa secara otoriter, Presiden Suharto bukanlah ‘si raja tega’, tetapi dia adalah pemimpin yang masih memiliki hati nurani meski harus mengorbankan kekuasaannya sekaligus masa depan keluarganya.
Jasa dan Dosa
Memang diakui, Presiden Suharto memiliki jasa besar terhadap bangsa dan negaranya, namun kesalahannya atau dosanya juga tidak kalah besarnya. Adapun jasa besar mantan Presiden Suharto terhadap bangsanya adalah:Pertama, berhasil membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedua, menjadikan perekonomian stabil bahkan berkembang pesat dari semula terpuruk berat di akhir era kekuasaan rezim Sukarno. Ketiga, menjadikan politik stabil meski harus mengorbankan kebebasan rakyatnya. Keempat, menjadikan Indonesia negara paling stabil dan aman di Asia bahkan dunia. Kelima, kesejahteraan rakyatnya terjamin dengan murahnya berbagai harga pangan dan kebutuhaan pokok lainnya. Keenam, Indonesia berhasil swasembada pangan di era pemerintahannya. Ketujuh, menjadikan Indonesia negara yang disegani dan dihormati di Asia Tenggara, Asia bahkan dunia dengan kekuatan militernya. Kedelapan, puncak keberhasilan pendidikan terjadi di era Presiden Suharto, dari mayoritas rakyat buta huruf dan berpendidikan SD, menjadi melek huruf dan gudangnya para sarjana dan ilmuan terkemuka, dan sederetan prestasi gemilang lainnya.
Namun tidak sedikit pula kesalahan dan dosa Presiden Suharto yang berkuasa secara diktatorial dan otoriter selama 32 tahun. Adapun berbagai dosa Presiden Suharto antara lain: terjadinya berbagai kasus pembantaian yang melanggar HAM berat seperti Tanjung Priok dan Lampung, pemaksaan Asas Tunggal Pancasila, monoloyalitas PNS terhadap Golkar, pembredelan demokrasi, pembungkaman pers, memperkaya keluarga dan inner-circle kekuasaannya, membantu klik Cina konglomerat hitam pemilik bank yang collaps sehingga menimbulkan mega skandal BLBI sebesar Rp 660 triliun, pembunuhan dan pembungkaman lawan politik termasuk para aktivis Islam, penculikan para aktivis mahasiswa, memperkosa UUD 1945 sehingga dapat dipilih lagi sampai tujuh periode serta menghambat munculnya regenerasi kepemimpinan nasional dan lain sebagainya.
Sebagai dampak dari policy Suharto tersebut, saat ini Indonesia tergolong negara dengan hutang luar negeri lebih dari seratus miliar dolar AS hingga sulit terbayarkan dalam beberapa generasi. Sementara kekayaan alam nasional dikuasai beberapa perusahaan asing, hutan Indonesia habis digunduli, KKN sudah menjadi budaya birokrasi dan sebagainya. Memang diakui Suharto memiliki jasa bagi bangsa ini, namun kerusakan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukannya selama berkuasa tidak kalah besarnya daripada jasanya kepada bangsa dan negara. Sehingga dapat dikatakan akhir kekuasaan Suharto adalah suul khotimah bukan khusnul khotimah, karena terpaksa lengser keprabon. Akhir kekuasaan Presiden Suharto hampir sama dengan akhir kekuasaan Presiden Sukarno, meski dengan sebab dan kasus berbeda.
Misteri
Memang kehidupan, kekuasaan hingga wafatnya Presiden Suharto diliputi misteri, mistisisme hingga klenikisme kejawen. Ketika Suharto mulai berkuasa pasca tragedi G30S/PKI 1965, dihubung-hubungkan dengan musibah banjir besar yang melanda Kota Solo, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Sementara menjelang Suharto wafat, Kota Solo dimana Ibu Tien Suharto berasal juga dilanda banjir, sementara tanah longsor terjadi di Karanganyar dimana menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.Sedangkan kejatuhan Presiden Suharto dihubung-hubungkan dengan kematian Ibu Tien (1994). Pasalnya, Ibu Tien dianggap yang memiliki “wahyu” kekuasaan karena berasal dari trah darah biru keturunan Mangkunegaran, Solo. Namun ketika Ibu Tien wafat, maka “wahyu” itu ikut minggat dan secara otomatis tongkat yang menopang kekuasaan Suharto roboh karena dimakan rayap, sebagaimana tongkat yang menopang badan Nabi Sulaiman As menjelang akhir hayatnya. Namun semuanya itu hanyalah rekayasa yang jauh dari kebenaran bahkan mengandung klenik kejawen. Sesungguhnya ada beberapa misteri selama 32 tahun kekuasaan Presiden Suharto yang belum berhasil diungkap hingga sekarang.
Pertama, siapa sesungguhnya dalang utama tragedi 1965 G30S/PKI yang menelan korban hingga 500 ribu orang itu dan hampir saja menghancurkan kesatuan NKRI. Apakah Mao Tse Tung, Kruchev, Sukarno, Aidit ataukah Suharto sendiri. Tetapi yang jelas, setelah itu dengan senjata Supersemar, Pangkostrad Mayjen TNI Suharto berhasil menumpas PKI hingga keakar-akarnya, meski sebelumnya PKI merupakan partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Partai Komunis Cina dan Partai Komunis Rusia yang sudah berhasil berkuasa di kedua negara raksasa komunis tersebut.
Kedua, siapakah dalang utama pembantaian 500 umat Islam di Jakarta termasuk pemimpinnya As Syahid Amir Biki yang dikenal dengan Tragedi Tanjung Priok (12/8/1984), apakah Presiden Suharto, Pangab Jenderal TNI LB Moerdani ataukah Pangdam Jaya Mayjen TNI Try Surtisno. Karena sampai saat ini belum pernah ada pengadilan atas pelanggaran HAM berat terhadap ketiganya, apalagi sekarang hanya Try Sutrisno yang masih hidup. Juga belum terungkap siapakah dalang Tragedi Talangsari, Lampung (1989), apakah Danrem Garuda Hitam, Kolonel Inf AM Hendro Priyono, ataukah masih ada dalang utamanya. Memang hingga sekarang ini, belum pernah ada pengadilan terhadap mantan Kepala BIN ini dalam kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari, Lampung.
Ketiga, mengapa setelah 10 tahun lengser dari kekuasaan hingga akhir hayatnya (27 Januari 2008), tidak ada satupun Presiden Indonesia yang berani membawa mantan Presiden Suharto ke Pengadilan, apakah dalam kasus korupsi, pelanggaran HAM berat ataukah kasus lainnya. Baik Presiden BJ Habibie, Gus Dur, Megawati ataupun SBY semuanya bungkam seribu bahasa ketika ditanya mengapa tidak mau mengadili Pak Harto yang jelas-jelas menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) selama 32 tahun berkuasa.
Keempat, tepat 16 tahun setelah lengser keprabon, tampillah wong Solo memimpin negara ini, Presiden Jokowi. Meski Pak Harto asli Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi Ibu Tien asli Wonogiri Solo dan masih keturunan darah biru Mangkunegaran Solo. Bahkan pernikahan Pak Harto dan Ibu Tien (1946), juga dirayakan di Kota Solo. Sedangkan Presiden Jokowi dan istrinya Iriana, sama-sama asli Solo. Jadi sesungguhnya antara mantan Presiden Suharto dan Ibu Tien serta Presiden Jokowi dan Ibu Iriana masih memiliki hubungan “kekerabatan” karena sama-sama wong Solo.
Namun yang menimbulkan pertanyaan adalah, apakah keberhasilan kepemimpinan Presiden Jokowi nantinya akan sama dengan suksesnya Presiden Suharto dalam membangun dan memimpin Indonesia ? Tetapi yang jelas, keberhasilan Presiden Jokowi dalam memimpin negara bisa diukur pada Pemilu dan Pilpres 2019 nanti. Jika nanti Presiden Jokowi mencalonkan diri lagi dan ternyata terpilih kembali untuk periode keduanya, hal itu menunjukkan rakyat menilai Presiden Jokowi berhasil pada periode pertama pemerintahannya sebagai Presiden RI. Namun jika gagal, hal itu menunjukkan rakyat menganggap Presiden Jokowi telah gagal dalam memimpin Indonesia. Sehingga Presiden Jokowi tidak bisa disejajarkan dengan Presiden Suharto dalam memimpin bangsa dan negaranya, meski keduanya masih memiliki hubungan “kekerabatan” karena sama-sama wong Solo. Namun, dari gejolak dan kontroversi yang terjadi saat ini, mampukan Jokowi menjadi presiden sukse?[sumber: voa-islam.com]
Subscribe by Email
Misteri 32 Tahun Kekuasaan Mantan Presiden Soeharto
4/
5
Oleh
Asyifa Indania